Umar bin Khathab ra : Jika Kalian Melihatku Bengkok, Apa yang akan Kalian Lakukan?


https://i1.wp.com/static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/ilustrasi-_121027163507-379.jpg

Oleh: Eko Jun

SUATU ketika Amirul Mukminin Umar bin Khathab ra berbicara di hadapan khalayak, “Jika kalian melihatku bengkok, apa yang akan kalian lakukan?”

Salah seorang lalu berdiri dan berkata dengan lantang, “Kami akan meluruskanmu dengan ini,” seraya mengacungkan pedang.

Bukannya marah, Umar malah gembira dan berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah membangkitkan dari rakyatku orang yang mau meluruskanku dengan pedangnya.”

Apa kira-kira hikmah yang bisa kita petik dari kisah ini?

Pertama, Ketawadhukan Pemimpin

Pemimpin itu semestinya tawadhu’. Mereka menjadi pemimpin karena punya banyak kelebihan dibandingkan kaum yang dipimpinnya. Baik dalam hal ilmu, pengalaman, harta, nasab, dan lainnya. Meski begitu, sikap tawadhu harus dikedepankan saat berhadapan dengan rakyat. Sehingga kaum yang dipimpinnya merasa nyaman untuk berinteraksi dengannya, sehingga koleganya (pemimpin negeri lain) merasa sungkan dan hormat kepadanya.

Sungguh, Umar bin Khathab ra adalah orang hebat. Firasatnya tajam, ilmunya luas, setan-pun takut kepadanya. Dengan segala keutamaan yang dimiliki, dia tetap membuka diri untuk dikritik oleh rakyatnya. Apakah sikap itu menurunkan derajatnya? Sama sekali tidak. Rakyat semakin hormat dan patuh kepadanya. Benarlah sabda Nabi: “Man tawaadha’a li akhiihil muslim, rafa’ahullah”.

Kedua, Penghargaan Kepada Orang Lain

Umar bin Khathab itu begitu superior, bahkan di antara sesama shahabat. Mungkin hanya Ali bin Abu Thalib ra saja yang layak disejajarkan dengan Umar bin Khathab ra, baik dari segi kekuatan fisik maupun keluasan ilmu. Namun secara khusus, tentu saja ada beberapa shahabat yang memiliki keunggulan tertentu. Misalnya, Abu Bakar Ash Shidiq paling paham terhadap nasab Quraisy. Hudzaifah Al Yamani paling paham dengan masalah kemunafikan. Mu’adz bin Jabal paling paham dengan perkara halal haram. Dan seterusnya.

Sehebat apapun, seorang pemimpin harus memahami batas kemampuan dirinya. Karena itu, dia harus membuka pintu selebar-lebarnya atas masukan maupun kritik dari pihak lain. Karena bisa jadi mereka mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Sebagaimana burung hud-hud mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi Sulaiman, yakni tentang berita dari negeri Saba.

https://khazanahilmublog.files.wordpress.com/2013/06/renungan-malam-hari_480x320.jpg?w=350&h=200&crop=1

Ketiga, Jaminan Kebebasan

Sejak awal, Umar bin Khathab memang terkenal keras. Mengacungkan pedang, mengayunkan tongkat, menarik janggut dll adalah bagian dari gaya khas seorang Umar. Dia melakukan hal itu bukan hanya kepada musuh, tapi juga kepada sebagian shahabat. Karena itulah, ada banyak pihak merasa keberatan saat dia menjadi khalifah. Karena itu pula, ada shahabiah yang berani menolak pinangannya.

Namun di balik itu, Umar sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Khususnya terhadap perkara yang dilandasi nash, Umar akan menerima dengan lapang, meski koreksinya datang dari seorang nenek tua yang tak dikenal. Terhadap pengaduan kedzaliman, dia langsung bertindak tegas meskipun akan menimpa pejabatnya dan sanak keluarganya.

Khatimah

Dalam konteks bernegara, seorang pemimpin (dari presiden hingga kepala desa) harus membangun budaya egaliter, baik secara personal dengan rakyatnya, maupun secara kelembagaan dengan DPR/DPRD. Hanya dengan cara itu, segala potensi kebaikan bisa tertampung dan tersalurkan melalui jalur resmi dan konstitusional. Agar pada saatnya nanti, pertanggungjawaban terhadap suatu kebijakan bisa dipikul bersama. Baik di dunia, maupun akhirat.

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !