Masya Allah, Indahnya Al Safar, Masjid Tanpa Tiang yang Mencuri Perhatian

Bulan Ramadhan tinggal menghitung hari. Artinya, tidak lama lagi musim mudik akan berlangsung. Tol Purbaleunyi penghubung Jakarta dan Bandung, biasanya menjadi ruas jalan yang akan ramai dilalui para pemudik.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya, pemandangan di ruas tol Purbaleunyi hanya tampak sawah dan perbukitan. Mulai tahun ini, ada bangunan yang mungkin mencuri perhatian pengguna jalan.
Bangunan bercat abu-abu itu terletak di KM 88 yang mengarah ke Jakarta. Menjulang dengan tinggi sekitar 15 meter, orang yang melintas mungkin tidak langsung mengira jika bangunan itu adalah masjid.




Berbeda dengan masjid biasanya di Indonesia yang atapnya terdapat kubah, rumah ibadah umat Muslim bernama Al Safar beratap datar. Desain ini memang sengaja dipilih tim arsitek Urbane.
Tim arsitek yang digawangi Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, dan teman-temannya, sengaja memilih bentuk tidak biasa untuk sebuah masjid. "Kami ingin masjid ini menjadi pusat perhatian di tengah kawasan antah berantah ini," kata Kepala Perencanaan Pembangunan Masjid Al Safar, Reza A. Nurtjahja, Senin (22/5).

Sekilas bangunan seluas 900 meter persegi ini mirip peci. Ujung depan dan belakang bangunan dibuat mengerucut. Sisi kanan dan kirinya dibuat sejajar dengan dinding seperti gabungan beberapa segitiga. Ada juga yang menyebutnya mirip ikat kepala khas Sunda.




Dari luar dan dalam rest area, Masjid Al Safar memang menarik perhatian. Selain bentuk bangunan yang tidak biasa, kawasan sekitar masjid pun dibuat nyaman untuk sekadar menjadi tempat beristirahat.


Adanya beberapa kolam berbentuk segitiga dan tempat duduk yang memanjang di pinggir kolam, membuat suasana dekat masjid relatif lebih dingin ketimbang titik lain di rest area itu. “Memang kami buat desainnya untuk masjid tetap ikonik tapi tidak menjadi eksklusif, sehingga jadi bagian aktivitas rest area," kata Reza.


Bagian interior masjid, tampak mengerucut di bagian atap belakang dan di depan dekat tempat imam. Tidak ada tiang di dalam masjid. Dalam cetak biru tim Urbane yang diberikan kepada kumparan (kumparan.com), mereka sengaja meniadakan tiang dalam masjid. Pasalnya, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Anas bin Malik, menyebutkan pada masa Rasulullah, salat dekat tiang dihindarkan. Keberadaan tiang dianggap mengganggu shaf atau barisan salat.

Reza juga menyebut teknologi yang ada saat ini juga telah memungkinkan bangunan berdiri tegak tanpa ada tiang. “Jadi lebih baik untuk masjid didesain tanpa tiang,” ungkapnya.




Selain tanpa tiang, konsep tempat jemaah perempuan beribadah dibuat lebih tinggi dengan desain mezanine. Untuk menuju tempat salat jemaah perempuan dibuat jalur menanjak, tanpa anak tangga (ramp). Desain jalan menanjak sebagai jalur berpindah lantai juga pernah dipakai tim Urbane saat merancang Museum Peringatan Tsunami di Banda Aceh.
Namun, untuk bisa berdiri tegak seperti saat ini, Masjid Al Safar sempat terganggu pembangunannya. Mulai dibangun pada 2013, pembanguan sempat terhenti pada 2014 ketika bangunan baru mencapai 30 persen.
Pada awal pembangunan, pihak swasta yang berperan sebagai kontraktor tidak bisa melanjutkan pembangunan. Baru pada 2017 pembangunan dilanjutkan oleh PT Jasa Marga Property. “Dimulai lagi pada Januari, kami kejar pembangunan sebelum bulan Ramadhan, sehingga bisa dipakai saat itu,” kata Asisten Manager Pemasaran Jasa Marga Properti, Sofi Ratna Furi.

Dana pembangunan masjid, jelas Sofi, dari perusahaannya. Sekitar Rp 10 miliar dihabiskan untuk membangun kompleks rumah ibadah dengan luas total 1.200 meter persegi.
Meski baru diresmikan beberapa hari dan bulan Ramadhan belum tiba, Masjid Al Safar sudah cukup banyak disinggahi pengguna jalan tol. Taufik, marbut masjid, menyebutkan jemaahnya kini menjadi lebih banyak. “Dibandingkan dengan masjid yang terdahulu, jauh lebih banyak sekarang, Alhamdulillah,” katanya.
Tidak hanya pengurus masjid, beberapa pengguna tol yang singgah pun merasa senang dengan adanya tempat ibadah baru itu. Semisal Zuraida, warga Jakarta yang sering mengunjungi anaknya di Bandung. Setelah ada masjid ini, dia berencana akan menjadikan KM 88 perberhentian rutinnya. “Sekarang lebih enak istirahat di sini saja. Suasananya enak sekali untuk salat,” ujarnya.